kekaisaran byzantium
Kekaisaran Byzantium

Kekaisaran Byzantium; Kreator dan Benteng Peradaban

Diposting pada

Kekaisaran Byzantium, kreator dan benteng peradaban – Disintegrasi yang terjadi pada Kekaisaran Romawi Barat sebuah krisis besar pada sejarah peradaban Barat. Peristiwa keruntuhan yang sedemikian parahnya sehingga membentang sebuah jurang yang dalam antara zaman klasik dan zaman pertengahan. Setidak-tidaknya itulah keyakinan sebagian besar sejarawan. Namun antara kedua zaman itu sesungguhnya terjalin suatu garis kesinambungan.

Periodisasi dalam sejarah peradaban sebenarnya hanyalah satu cara untuk memahami perbedaan aspek-aspek fundamental dalam bentuk kebudayaan. Beberapa periode kecil kita gabungkan sebegitu kuatnya sehingga kita namakan Zaman Pertengahan yang dimulai dari runtuhnya Kekaisaran Romawi Barat sampai dengan jatuhnya Konstantinopel pada tahun 1453. Secara konvensional, abad-abad permulaan dalam Zaman Pertengahan adalah tahun 500 hingga 1000 yang lazim disebut dengan Zaman Gelap.

Dikalangan para sarjana beredar keyakinan bahwa zaman pertengahan adalah masa-masa yang tidak menguntungkan bagi perkembangan umat manusia. Banyak penulis yang sebenarnya miskin informasi tentang zaman ini menggambarkan Zaman Pertengahan dengan warna yang serba buram. 

Penggambaran semacam itu harus dipertanyakan, sebab Zaman Pertengahan sebenarnya adalah periode besar yang luarr biasa dalam sejarah peradaban. Walau telah terlanjur disebut Zaman Gelap, Zaman Pertengahan bukanlah tanpa prestasi yang berarti bagi perkembangan peradaban Barat.

Kekaisaran Byzantin (Byzantium)

byzantin

Kekaisaran Bizantin atau Byzantium adalah kelanjutan dari Kekaisaran Romawi dalam Zaman Pertengahan. Sebegitu banyaknya anasir-anasir Kekaisaran Romawi lama yang tetap bertahan sehingga kita tak dapat begitu saja mengatakan kapan Kekaisaran Romawi berakhir dan kapan Byzantium lahir. Dengan kata lain, pastilah ada masa-masa transisi. Dan dari segi pemerintahan, masa iransisi itu adalah masa pemerintahan Justianus, yakni dari 527 hingga 565.

Telah banyak terjadi kesalahpahaman tentang Byzantium. Buku-buku sejarah pada umumnya menyatakan bahwa “Roma jatuh pada tahun 476”, dan Byzantium tak menghasilkan apa-apa, sehingga Zaman Pertengahan adalah zaman kegelapan. Sejarawan yang paling bertanggung jawab dalam menyebarkan kekeliruan ini adalah Edward Gibbon (1794), yang menulis karya besarnya, Decline and Fall of the Roman Enipire beberapa saat sebelum pecahnya Revolusi Prancis pada tahun 1789.

Bagaimanakah kenyataan yang sesungguhnya?

Segera setelah Romawi Barat runtuh, Byzantium sesungguhnya merupakan benteng perlindungan peradaban Eropa barat. Gelombang demi gelombang invasi kaum barbarorang-orang Slavia dari utara, kaum nomaden dari daratan Rusia selatan, para penunggang kuda dari Padang Kirghizia di Asia mencoba menembus tembok Konstantinopel. Namun, setiap kali dicoba di terobos, Byzantium menunjukkan keperkasaannya terhadap orang-orang yang tampak tamak akan kekayaan Konstantinopel dan daerah-daerah propinsinya. Hal ini barangkali da pat kita bandingkan dengan gelombang air laut yang menghantam karang pantai.

Selama kaum barbar tak mampu menerobos Konstantinopel, upaya penyelamatan peradaban Eropa barat tetap terus berlangsung. Selanjutnya, selama berabad-abad Byzantium mampu memblokir jalan dari Asia ke Eropa guna menghalangi laju orang-orang Arab. Dengan demikian, gerak orang-orang Arab untuk menyebarkan agama Islam ke Eropa timur dan tengah tertahan.

Geografi Kekaisaran Byzantium

geografi Byzantium

Byzantium merupakan bagian timur kekaisaran Romawi lama. wilayahnya mencakup Yunani, semenanjung Balkan sebelah Selatan Danube, Asia barat hingga Lembah Eufrat-Tigris, Mesir, dan sebagian Italia.

Kesemuanya itu merupakan sisa-sisa kekaisaran Romawi yang dapat dipertahankan dari invasi kaum barbar pada abad kelima. Namun, pada abad ketujuh Mesir, Syria dan Lembah Eufrat-Tigris jatuh ke tangan orang-orang Arab. Dan dari waktu ke waktu sampai dengan abad kelima belas, sejengkal demi sejengkal wilayah Byzantium digerogoti oleh musuh-musuh lainnya.

Akhirnya, wilayah kekuasaan Bizantium tinggal berupa sebuah jalur kecil sepanjang pantai utara Bosporus dan Dardanela, termasuk Konstantinopel. Konstantinopel, ibukota Byzantium memiliki posisi yang sangat menguntungkan. Dengan terletak di pantai utara Bosporus, yang menghubungkan Laut Hitam dengan Laut Marmora dan Aegea, Konstantinopel praktis menguasai jalur perdagangan kuno yang cukup vital.

Lokasinya persis di pangkalan terdepan antara Eropa dan Asia Kecil. Dengan demikian mampu mengawasi lalu lintas antar benua. Di samping itu, Konstantinopel dari segi militer juga sangat strategis. Kota ini dibangun persis di atas sebuah semenanjung dan dikelilingi oleh benteng-benteng. Dengan demikian dapat mengawasi segala gerak gerik militer antara Asia dan Eropa. Pendeknya, secara geografis Konstantinopel hampir-hampir tiada bandingannya.

Baca Juga :

Aspek-Aspek Ekonomi Kekaisaran Byzantium

Meskipun perekonomian kawasan Mediterania mengalami kemunduran, Kekaisaran Byzantium tetaplah makmur. Di sinilah kejayaan lama perekonomian Yunani berlanjut. Mesir masih tetap sebagai lumbung kekayaan. Demikian pula Syria, yang bahkan para saudagarnya menjadi agen-agen barang-barang perhiasan mewah yang berasal dari bagian barat kawasan Mediterania.

Melalui Bosporus dan Dardanela, diangkutlah produk-produk pertanian dari Rusia selatan ke kawasan Mediterania yang padat penduduk. Ke timut terjalinlah hubungan dengan Persia, India, dan Sri Lanka. Dari daerah-daerah itulah Byzantium mendatangkan rempah-rempah (India Timur), sutera (India dan China), serta barang-barang mewah. Perdagangan berkembang, dan kota-kota seperti Alexandria, Antioch, Tarsus, Smyrna, Trebizond, Konstantinopel, Thessalonika dan Patras menjadi pusat-pusat perdagangan yang penting.

Produksi sutera dan industri manufaktur barang-barang sutera merupakan topangan utama ekonomi Byzantium. Ulat sutera telah dikembangbiakkan di China utara sejauh sebelum Kristus, dan pakaian sutera adalah barang mewah khas China.

Namun, proses pembuatan barang-barang sutera itu sangat dirahasiakan. Selama berabad-abad hanya barang-barang sutera yang telah jadi yang dijual ke China. Pakaian sutera telah dikenal di kawasan Yunani sejak zaman Alexander Agung. Sutera dibawa oleh karavan melewati rute perdagangan kuno menuju barat melalui Turkestan. Namun, para saudagar China jarang mengembara ke barat lebih jauh dari Samarkand.

Sebaliknya para pedagang dari kawasan Mediterania jarang sampai ke China. Maka sebagian besar perdagangan barang-barang mewah ini jatuh ke tangan para pedagang Persia, yang mendatangkan sutera dari Turkestan dan Sri Lanka. Setelah yakin barang-barang itu akan mendatangkan keuntungan yang besar, mereka membawa barang-barang tersebut ke wilayah Bizantium melalui kota-kota tertentu di lembah Eufrat-Tigris.

Akhirnya, sutera mentah dan juga yang sudah berupa barang jadi, menjadi monopoli Byzantium. Industri-industri manufakturnya dibangun di Konstantinopel, Tyrus dan Beirut. Keunggulannya dalam perlengkapan teknis pertenunan serta kualitas pekerjaannya memungkinkan para pedagang Byzantin memonopoli perdagangan sutera ini hingga ke Eropa barat.

Konstantinopel

Kota ini didirikan oleh Kaisar Konstantin (377). Semenanjung tempat dibangunnya kota ini di sebelah utara dibatasi oleh Golden Horn atau tanduk emas, Laut Marmora disebelah selatan dan Selat Bosporus di sebelah timur. Tembok kota ini, disebut Tembok Konstantin, dibangun dari tahun 324 sampai dengan 330. Dengan dikelilingi tembok, Konstantinopel menjadi tampak padat karena jumlah penduduknya meningkat terus.

Gedung-gedung megah dibangun di bagian timur semenanjung. Disinilah antara lain dibangun pasar raya terbuka, yang disebut Forum Augustaeum. Dan di pasar itulah berdiri Golden Milestone (Tonggal Emas) yang merupakan tonggak terbesar dari tonggak-tonggak kecil yang dipancangkan di sepanjang tepi jalan kekaisaran yang menunjukkan jarak dari satu tempat ke tempat berikutnya.

Selain pasar raya, dibangun pula kolam Zeuxippus, rumah senat, tempat para uskup, serta istana Konstantinopel itu sendiri. Di sebelah barat Forum Augustaeum terdapat Hippodrome, tempat pacuan raksasa. Di ujung utara terdapat Kathisma (tribun kekaisaran), tempat sang kaisar dan keluarganya menyaksikan pacuan. Tidak jauh dari tempat pacuan itu berdiri gereja St. Sophia. Dari gereja inilah dibentangkan Mese, yang memanjang hingga Gerbang Charisia. Triumphal Way (Jalan Kemenangan) mencabang dari Mese sampai ke Golden Gate (Gerbang Emas).

Gereja, kolam atau bak mandi, pasar, tempat peristirahatan para pelancong terdapat dimana-mana. Istana kekaisaran terletak di sebelah timur Forum Augustaeum, dipisahkan oleh sebuah tembok memanjang. Untuk masuk ke istana hanya dapat ditempuh dengan melewati gerbang kekaisaran di depan St. Sophia.

Persia dan Pengaruhnya Terhadap Kekaisaran Byzantium

Baik kaisar-kaisar yang berada di Roma maupun Bizantium sebenarnya banyak meminjam gagasan tentang pemerintahan dari para penguasa Sassanid. Hierarki pemerintahan yang tersusun dengan rapi yang dibentuk oleh kaisar Diocletianus, yang memerintah dari 284 hingga 305, sebenarnya bersumber dari Persia.

Tata cara peradilan yang begitu rinci yang diterapkan di Bizantium juga berasal dari Persia. Para pejabat yang sangat patuh yang bersujud dihadapan sang kaisar, kostum yang mencolok dan berwarna-warni, pemanfaatan emas yang sangat beragam, semuanya ini merupakan pengaruh Persia. Demikian pula gagasan tentang kekaisaran yang universal, yang harus terus meluas, adalah juga konsepsi dari Persia.

Dengan merasuknya pengaruh Persia ke dalam berbagai aspek kehidupan, terutama dalam tata pemerintahan, maka pengkajian tentang peradaban Byzantium tak akan lenyap jika Persia, sebagai tetangga yang kuat, tidak diperhatikan.

Pada masa Alexander Agung, Persia memang mengalami kemunduran. Tetapi tiba-tiba kemungkinan bangkit dari keruntuhannya. Kebangkitan kembali itu terjadi pada tahun 226, yakni ketika Ardashir 1 merebut kekuasaan kemudian meletakkan wangsa Sassanid. Sebuah dinasti yang berkuasa hingga Pertempuran Nahavand (641), yang menandai dimulainya kekuasaan Arab. Selama empat abad di bawah Sassanid itulah Persia mengalami masa kejayaan yang berpengaruh terhadap Bizantium dalam banyak hal.

Agama bangsa Persia kuno yaitu Zoroaster, selama lima abad sesudah Persia ditaklukan Alexander Agung ternyata tetap bertahan. Dengan bertahannya agama itu, mereka hampir-hampir tak terpengaruh ajaran-ajaran agama misteri Yunani Romawi maupun Kristen. Bahkan, untuk menangkal pengaruh-pengaruh agama asing itu mereka menghidupkan kembali pemujaan terhadap Ahura Mazdah.

Gereja “Caesaropapisme”

Byzantium adalah Kekaisaran Kristen. Gereja sebagai institusi ditangani oleh para pengurus yang terdiri dari uskup, uskup besar, rohaniwan, kepala biara, biarawan dan biarawati. Uskup atau Patriarkh Konstantinopel adalah kepala gereja yang menurut ketentuan sebenarnya dipilih oleh dewan keuskupan, namun dalam kenyataannya diangkat oleh kaisar.

Memang secara langsung kaisar tidak mencampur tangani urusan gereja, namun sangat mungkin sekali ia mendiktekan kehendaknya, bahkan hingga ke hal-hal yang menyangkut dogma. Apa yang baru saja disebutkan itu tampak jelas pada tahun 728 yakni ketika sang kaisar mengeluarkan dekrit tentang penghapusan dosa.

Memang Patriarkh lah yang memahkotai kaisar. Namun, hal itu bukan dalam kapasitasnya sebagai kepala gereja, melainkan sebagai warga utama kekaisaran. Kemudian kaisar menjadi semacam wakil Tuhan di bumi dan memiliki kekuasaan yang mengatasi Patriarkh. Bahkan, kemudian gereja ditransformasikan menjadi gereja negara. Kontrol negara atas gereja ini disebut dengan istilah “Caesaropapisme” – Konsep khas Byzantium.

Sejarah Militer Kekaisaran Byzantium

Perang pemberontakan bagian yang sangat penting dalam sejarah kekaisaran Bizantium. Tanpa pengetahuan tentang hal ini, kita tidak akan dapat menjelaskan sejarah kebudayaan kekaisaran ini. Hampiy setiap generasi mengalami bahaya ancaman militer. Hal ini ternyata sangat berpengaruh atas aspek-aspek kehidupan warga Byzantium. Dan tekanan ancaman itulah yang kemudian menjadi faktor utama kemunduran Byzantium terutama setelah abad kesebelas.

Sebagaimana kita ketahui bahwa Byzantium mempunyai aset ekonomi yang tak tertandingi. Pemasukan untuk kas negara cukup melimpah. Kekayaan inilah yang memungkinkannya untuk membangun pasukan reguler yang jumlah anggotanya mencapai 120.000 orang. Mereka adalah prajurit-prajurit yang terlatih dan memperoleh gaji teratur.

Dalam keadaan menghadapi ancaman besar, jumlah pasukan reguler di atas ditambah dengan prajurit sewaan. Mereka para prajurit bayaran itu adalah orang-orang Varangia yang menjual jasanya kepada kaisar Konstantinopel.

Mereka biasanya merupakan pasukan kavaleri yang diperlengkapi dengan busur dan tombak. Semua prajurit mengenakan baju baja dan pasukan infanteri membawa lembing. Para jenderal adalah ahli-ahli menyusun strategi dan mengatur peperangan dengan cermat. Dengan manajemen militer yang demikian itulah Byzantium memainkan peran penting dalam mempertahankan Eropa.

Sumber Artikel : Henry S Lucas., 1993, Sejarah Peradaban Barat Abad Pertengahan, PT. Tiara Wacana Yogya.

Diterjemahkan oleh :

  • DR. Sugihardjo Sumobroto.
  • Drs. Budiawan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *